Malam memuram. Aku tau kau malas menampakkan diri. Bergerak turun pun
 kau tak sudi dari singgasana itu. Aku mengerti. Karena kuperlakukan kau
 dengan sangat tidak manusiawi.
Iya kan? Dendamkah kau?
Dan 
saat keputusan ini tiba, di mana kekuasaan berada di tanganmu 
sepenuhnya, apakah kau ingin hadir dengan prediksi yang tersia-sia 
olehku atau mati dengan luka meruah di atas singgasana itu, maka 
kuputuskan untuk memberitahumu akan sesuatu.
Sebelum
 aku atau kau yang binasa, inginkah kau tahu kenapa kuperlakukan kau 
seperti itu selama ini? Seakan-akan kau nihil dalam hidupku dan tidak 
kuindahkan keberadaanmu sebagai seorang anak manusia, inginkah kau 
mengetahuinya?
Setidaknya dengarkan dulu penjelasanku sebelum kita
 berdua memalingkan wajah satu sama lain karena ketidaktertarikanmu pada
 hidup ini. Asal kau tahu, hidup ini adalah penderitaan. Atau memang 
hanya hidupku saja yang menderita sebegitu parahnya hingga terlalu pilu 
untuk dijadikan sebuah lagu?
Hai, kau yang sedang duduk di 
singgasana kehormatan itu! Aku memulai kisah ini dengan kepiluan kacang 
yang dipaksa terlepas dari kulitnya. Ditekan, dikuliti dan dilepas tanpa
 perasaan, seperti jalang. Lalu dimakan dengan sekali gigit dan berakhir
 dalam sebuah telan.
Kupikir mereka sayang, maka aku pun senang. 
Kukira mereka tulus, tidak tahunya hanya akal bulus. Bagi mereka, 
kehadiran seorang anak adalah untuk menambah pemasokan beras di rumah. 
Jual tubuh. Mereka menukarku untuk segantang beras. Dengan harapan aku 
senang dan mereka dapat kenyang.
Dalam usia ketika aku baru 
mengerti bahwa Tibet berbeda dengan Tebet, aku digiring dengan kawat 
besi, dipaksa menjadi makanan harian yang dilepas satu-persatu secara 
perlahan oleh mereka yang tak tahu 
.
Oleh manusia-manusia
 penjambak rambut itu, aku memar dan terluka untuk selamanya. Tak ada 
yang dapat menambal kepercayaanku yang telah koyak kepada kaum-kaum itu.
 Adakah yang baik? Yang berbeda spesies dari yang kuhadapi selama ini? 
“Jika ada, potong tanganku dan cacah dagingnya!” teriakku.
Dan 
saat mengetahui kau memilihku untuk hidup bersama kelak, aku hanya bisa 
acuh. Sakit ini pada hidup yang kejam, sudah terlalu banyak tinta hitam 
dalam kertas putihku sebagai seorang manusia. Bagiku ia hanya kelam. Tak
 butuh aku ganti kertas putih penuh noda itu.
Hati nuraniku mulai 
cerewet. Ia minta agar aku memulai lagi dengan kertas putih yang baru, 
untuk kujalani bersamamu kelak. Kubilang bahwa aku tidak mengharapkanmu 
untuk memilihku. Dengan adanya kau, hidupku menjadi bertambah sulit. 
Dulu kupikir aku tak akan mengenal kebaikan lagi, hanya kepahitan.
Tapi
 aku salah! Kau, walaupun tak berdaya, mengajarkanku sebuah kehidupan 
yang harus kujaga. Merekuh sebuah perantara selaput kulit. Kita hanya 
terpisah beberapa cm dalam tubuh yang sama. Aku dapat merasakanmu ketika
 kau mulai ingin bermain. Tidak sabar keluar dan ingin menantang dunia.
Kau
 kukenal tak lebih separuh usiaku. Aku menjadi mengerti makna berbagi, 
ketulusan, kasih sayang dan penerimaan. Cinta kasih yan luar biasa 
dianugerahkan hanya untuk pelacur jalang sepertiku. Kau mengajariku 
begitu bayak pelajaran akan hidup ini.
Dan setelah berbulan-bulan,
 dalam sebuah ruangan persegi berwarna putih ini, keringat dinginku 
mulai bercucuran. Demi melihat nafasmu. Aku meregang nyawa di ruangan 
ini, demi melihat apakah kau mencintaiku atau ingin meninggalkanku 
seperti mereka. Dan dalam regangan nyawa ini aku paham bahwa kau ingin 
membuatku mengerti akan hidup ini.
Kurasai kau mengangguk. Melorot
 perlahan untuk turun. Menyetujui untuk turun dari singgasana itu, 
menyambutku keluar dan meneriakkan tangisanmu yang kuketahui selama ini 
kau pendam. Aku tarik seribu nafasku agar kau dapat leluasa keluar. 
Dengan segenap kekuatan dunia yang kumiliki selama ini kukerahkan kau 
untuk turun dari singgasana yang enggan melepasmu.
Teriakan itu. Tangis itu. Aku dan kau bagai terlahir menjadi selembar kertas putih. Aku menjadi baru dan kita bersatu.
Dan
 disaat rintih tak dapat kurengkuh, maka desahan lagu itu akan mereguk 
nafas kita berdua. Tangismu mewujud dalam harmoni. Siluet putih itu 
menjemputku pergi menjauh darimu yang baru saja setuju untuk turun 
memeluk.
Maaf, kutitipkan kau pada dunia dengan segala doa 
terbaikku agar kau aman untuk hidup. Aku tau kau menggenggam jari 
telunjukku erat. Di atas perutku, kau menempelkan tubuhmu tak mau 
berpisah. Aku tau kau ingin mendengar detak jantungku yang perlahan 
mulai memelan iramanya kan?
Jangan khawatir! Walaupun detak jatung
 ini tak dapat kau dengar nanti, aku selalu menjadi irama dalam 
harmonimu, menjadi lirik dalam lagumu dan menjadi nada dalam musikmu.
Terimakasih atas kelahiranmu, terimakasih atas kematianku.
Lanjutkan harmoni itu, nak. Rengkuh ia dan genggam erat tanpa harus kau rasa terjatuh seperti hidupku.
Salam, ibu yang melahirkan dan menyayangimu.