Judul
: Gus Dur dalam Obrolan Gus
Mus
Penulis : KH. Husein Muhammad
Penerbit : Noura Books
Tahun
Terbit : Cetakan kedua 2016
Tebal : 179 halaman
Gus Dur telah meninggalkan
kita untuk selamanya pada hari Rabu, 30 Desember 2009. Bangsa Indonesia telah
kehilangan salah satu putra terbaiknya. Putra bangsa yang menjadi sosok yang
menjaga dan menebarkan semangat persatuan berlandas asas keadilan. Gus Dur
telah wafat, jasadnya bersamayam damai di tanah kelahirannya, Pesantren
Tebuireng Jombang. Meski sudah tiada, sosok dan buah pikiran Gus Dur masih
lekat dalam ingatan rakyat Indonesia. Ingatan itu tergambar oleh kutipan KH. Husein
Muhammad dalam buku Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur. “Gelombang manusia
yang tak pernah berhenti bergerak menziarahi dan mendoakan Gus Dur adalah
karena tuhan mencintainya. Mencintai tuhan adalah mencintai semua ciptaannya,
tak peduli latar belakang agama, budaya, dan kelas sosial mereka”.
Mengenal Gus Dur sejatinya
tidak hanya bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Melainkan ada
kompleksitas yang menyatu di dalam pribadi Gus Dur. Ia bukan hanya seorang kiai
ataupun politisi. Karena ia juga pengamat sepak bola, budayawan, aktivis
pembela kemanusiaan, dan humoris sebagai karakteristiknya. Melihat kompleksitas
Gus Dur, marilah kita mencoba untuk mengenal Gus Dur dari perspektif sahabat
terdekatnya, yaitu KH. Mustofa Bisri atau yang acapkali dipanggil Gus Mus.
Buku berjudul Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus merupakan
buku yang mengisahkan pribadi Gus Dur dalam pandangan Gus Mus. Buku ini ditulis
dari hasil obrolan penulis dengan Gus Mus mengenai sosok Gus Dur. Penulis
melihat bahwa Gus Mus sangat dekat dengan Gus Dur, sehingga penulis hendak
mengisahkan sosok Gus Dur melaui pembicaraan dengan sahabat terdekatnya. Banyak
pihak yang mengamini jika Gus Dur dan Gus Mus adalah sahabat dekat. Kedekatan
ini diakui oleh kedua orang tersebut dalam beberapa forum. Selain itu,
keluarga, penulis dan kawan-kawan kedua tokoh itu juga mengakui kedekatan
mereka. Karena kedekatan pula, Gus Mus memanggil dengan Mas Dur sebagai
panggilan keakraban. Kedekatan persahabatan yang dijalin oleh Gus Dur dan Gus Mus
tidak terlepas dari jalinan persaudaraan semenjak menempuh pendidikan di Universitas
Al-Azhar Mesir.
Lebih tegasnya, dibuku
ini dituliskan pernyataan bagaimana kedetan ia dengan Gus Dur. “Gus Dur adalah
teman dan sahabat saya satu kamar ketika di Kairo, Mesir, pada tahun 1960-an.
Kami sering berdiskusi dan berdebat, belanja dan masak bergantian atau
bersama-sama. Gus Dur adalah sahabat terbaik saya. Dialah yang membesarkan dan
mendidik saya hingga jadi seperti saya sekarang ini. banyak sekali kenangan saya
bersama Gus Dur” kata Gus Mus.
Karena kedekatan itu
pula, sepekan menjelang Gus Dur wafat, beliau berkunjung ke rumah Gus Mus di Rembang.
Berkunjung sekadar untuk berbincang ngalor-ngidul
sebagaimana pembicaraan diantara dua sahabat yang sangat akrab. Santai,
cair, dan suasana hangat menyelimuti perbincangan itu. Kunjungan ini pula
ditafsiri oleh penulis sebagai pamitan kepada sahabat terdekatnya bahwa ia
tidak akan bisa bertemu lagi dengan Gus Mus. Pamitan mengucapkan selamat
tinggal untuk selamanya.
Buku ini mengupas
tentang kehidupan Gus Dur yang bersahaja. Memperbicangkan Gus Dur yang suka sepak bola,
pola makan Gus Dur, fenomena tidurnya, kegemaran ziarah, kehidupan di Kairo, serta
Gus Dur dan pergulatan terhadap sastra arab maupun sastra populer, dan juga
cerita Gus Dur di NU. Dibuku ini pula pembaca juga dikenalkan kepada nama-nama
sastrawan besar arab yang dipelajari Gus Dur. Buku Gus Dur dalam Obrolan Gus
Mus memuat dua bagian. Bagian pertama mengisahkan kenangan antara penulis dan Gus
Mus kepada sosok Gus Dur. Sedangkan bagian kedua berfokus pada tulisan yang
mengupas tentang Gus Mus. Walau bagaimanapun, membicarakan Gus Dur tidak bisa
lepas dari membicarakan Gus Mus.
Putri pertama Gus Dur, Alisa
Wahid berkomentar tentang buku ini sebagai sejarah pinggiran. Kisah yang tidak
ditemui di buku yang ditulis oleh orang lain. Perkataan tersebut tampaknya
bukan isapan jempol belaka. Selama ini publik semacam hanya mengenal gus dur
sebagai kiai dan politisi. Namun disamping itu, ternyata juga juga menggemari
sepak bola, musik, dan sastra. Seperti halnya dijelaskan pada Hal 31. Gus Dur
adalah peminat sastra. Beliau pernah kuliah di jurusan sastra arab saat di Baghdad,
memahami atau menguasai sastra arab dan hafal puisi-puisi penyair besar arab
klasik. Antara lain Al-Mutanabbi, Al-Khansa, Ka’ab bin Suhair, Abu Al-Atahiyah,
Abu Al-A’la Al-Ma’arri, Al-Bushairi, Hafidz, dan Sa’di Syirazi. Gus Dur juga
membaca lahap karya satra dan penyair kelas dunia, seperti William Shakespeare,
Leo Tolstoy, Dostoyevsky, Wolfgang von Goethe, Albert Camus dll.
Setelah membaca buku
tersebut, saya melihat kelebihan dari buku tersebut adalah kemampuan penulis
dalam menyajikan sosok Gus Dur dengan perspektif berbeda. Penulis mampu
mengeksplor kenangan dua sahabat antara Gus Mus bersama Gus Dur. Dan cerita
yang disampaikan Gus Mus inilah yang beberapa diantaranya tidak ditemui
dibuku-buku lain yang membahas Gus Dur. Selain itu, buku ini juga ditulis oleh
orang yang dahulu juga memili kenangan bersama Gus Dur. Jadi apa yang disampaikan
memiliki emosional yang erat.