“Tatkala waktuku habis
tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa maknanya umurku ini?” (KH. Wahid
Hasyim)
Bulan Ramadhan
merupakan bulan penuh berkah. Keberkahan Ramadhan mencakup berbagai aspek. Mulai
ekonomi, agama, sosial, bahkan politik menuai keberkahannya. Menurut literatur agama
Islam, beribadah di bulan Ramadhan akan dilipat gandakan pahalanya menjadi
sepuluh kali lipatan, seratus bahkan ribuan. Hanya Alloh Swt yang tau pastinya.
Itu sedikit berkahnya bulan Ramadhan. Belum lainnya.
Memperdalam ilmu agama
di bulan Ramadhan tampaknya menjadi langkah yang tepat. Selain janji
pelipatgandaan pahala, dimana pada bulan ini juga banyak majelis-majelis
keilmuan yang bertebaran. Pesantren, masjid-masjid, bahkan dipinggir jalan ada
kajian keagamaan sebelum menikmati buka bersama. Alangkah bijaksananya jika
kita memanfaatkan momentum seperti ini untuk memperbaiki kualitas agama pribadi
masing-masing.
Pun dengan saya. Merayakan
Ramadhan dengan cara meningkatkan pengetahuan tentang keagamaan. Cara saya merayakannya
dengan menghadiri majelis keilmuan dan yang tidak boleh dilupakan adalah membaca
buku karya para ulama. Baik ulama klasik maupun kontemporer harus dibaca. Adapun
mempelajari karya ulama klasik saya lakukan di Ponpes Aswaja, sedangkan
mempelajari karya ulama kontemporer saya lakukan di dalam kamar kost.
Karya ulama kontemporer
yang saya baca baru-baru ini adalah buah intelektualitas dari KH. Abdullah Sa’ad
Ahmadi. Beliau menulis buku berjudul “Kang Bejo”. Adapun yang saya baca adalah
buku Kang Bejo jilid 1. Buku yang bertagline Ajar Nggugu Dhawuhe Gusti Alloh Lan Kanjeng Nabi sangat tepat
dibaca oleh Islamis awam seperti saya. Bahasa yang sederhana dan tidak ndakik memudahkan saya dalam memahami
buku tersebut. Selain itu, buku ini memuat pula komparasi pemikiran Islam dan
barat, karya-karya ulama terdahulu, dan tentunya penjelasan yang bersumber dari
Al-Quran dan Al-Hadits dimuat dalam buku ini. Kompleksitas bahasan dalam buku
ini akan menambah cakrawala keilmuan pembacanya.
Buku Kang Bejo memuat
ajaran fundamental tentang kehidupan manusia. Tentunya dengan melihat
menggunakan kacamata Islam. Tujuan kehidupan, langkah menghidupkan jiwa,
menebar rahmat cinta kasih, dan mengikuti garis kehidupan yang diajarkan Alloh
serta nabi merupakan garis besar tentang apa yang penulis coba sampaikan kepada
khalayak. Bab-bab tersebut mengulas secara detail tentang ajaran yang ada di
dalamnya. Begitu lugas dan mencerdaskan.
Melaui buku ini,
Abdulloh Sa’ad mencoba untuk berdakwah dengan karya tulis. Dikarenakan alasan
beberapa hal. Pertama, dengan menulis buku, maka akan melahirkan pengakuan
keilmuan dari orang lain. Kedua, dengan dicetaknya buku, maka spektrum
dakwahnya akan semakin luas tanpa mempertimbangkan ikatan waktu dan tempat. Buku
dapat dibaca kapanpun dan dimanapun saja.
Dalam bukunya, Pak Kiai
ini juga menegaskan betapa pentingnya umat Islam memiliki ilmu yang cukup,
terlebih ilmu agama. Hal ini dibuktikan dengan beliau mengutip pernyatan
Al-Habib Prof Naquib al-Aththas. Habib yang juga Profesor tersebut menyatakan, hancurnya
umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya. Namun disebabkan oleh persoalan yang lebih fundamental yaitu
kehancuran pada tingkatan metafisis. Dimana umat Islam telah mengalami yang
namanya corruption of knowledge. Umat islam kehilangan sebuah pijakan pada
tradisi keilmuan yang mengakibatkan nilai adab dalam diri umat islam mengalami
kemerosotan yang sangat dalam.
Oleh karena itu, cocok
kiranya untuk menutup tulisan ini menggunakan kutipan KH. Wahid Hasyim. Pak
Kiai dan juga Menteri Agama pertama Republik Indonesia tersebut berkata, tatkala
waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa maknanya umurku ini?.
Selamat Membaca!
0 komentar:
Posting Komentar