Blogger templates

Sabtu, 11 Juni 2016

Politik yang Memanusiakan Manusia



Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.
 
Nama Gus Dur sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Nama ini lekat dalam benak rakyat Indonesia. Karena, beliau adalah Presiden Indonesia ke-4. Keterkenalan Gus Dur tidak hanya disebabkan karena dia pernah menjabat sebagai presiden negara ini, melainkan lebih ke sumbangsih pemikirannya untuk bangsa ini. Akibat pemikirannya yang yang membela keragaman dan anti diskriminasi, ia dijuluki sebagai bapak Pluralisme Indonesia. Banyak jasa yang telah ia berikan untuk manusia yang tertindas di negeri ini sehingga ia lekat dekat dengan masyarakat. Bukan hanya umat Islam yang ia bela, melainkan seluruh manusia yang tertindas dibelanya. Apapun latarbelakangnya. 

Pemimimpin. Ketika kita membicarakan soal pemimpin, maka kita akan berbicara pula soal kekuasaan. Karena pemimpin adalah orang yang berkuasa terhadap orang yang dipimpinnya. Identitas sebagai sorang pemimpin tidak bisa dilepaskan dari dirinya tatkala kita membicarakan tentang Gus Dur. Sudah banyak lembaga yang ia pimpin. Mulai dari lembaga tingkat lokal hingga skala nasional pernah ia pegang. Diantaranya adalah Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB, Ketua Umum PBNU, Rektor Universitas Darul Ulum Jombang, Pendiri The WAHID Institute, Indonesia, hingga sebagai Presiden Indonesia. Melihat rekam jejaknya sebagai seorang pemimpin, maka timbul pertanyaan seperti apakah pola kepemimpinan Gus Dur? Bagaimanakah Gus Dur memandang kekuasaan?

Memanusiakan Manusia


Satu hal yang diajarkan oleh Gus Dur, yaitu memuliakan manusia. Gus Dur berkeyakinan bahwa manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang mulia dan tinggi berkat anugerah Tuhan berupa kapasitas-kapasitas yang mereka miliki. Keyakinan primordial ini lalu diterjemahkan oleh Gus Dur, dengan cara menempatkan secara cermat keyakinan itu ke dalam problematika hubungan antara takdir Tuhan dan kehendak bebas manusia. Kecermatan itu terutama dapat dijumpai pada saat mana ia menempatkan hubungan kehendak manusia dan takdir Tuhan dalam kerangka ilmu pengetahuan alam/sosial dan filsafat moral. Dengan cara demikian, Gus Dur berhasil menampilkan konsepsi manusia dan moralitas menurut kosmologi Islam dalam wajahnya yang lebih fungsional dan universal. Sedemikian rupa sehingga “moralitas-agama Islam” bersama dengan “moralitas agama-agama” pada umumnya dan “moralitas-sekuler” dapat turut serta memberi sumbangan tak ternilai harganya bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat di dunia yang puspa-ragam dan bagi masa depan kebangunan peradaban.

Gagasan Gus Dur tentang manusia dan moralitas pada hakikatnya dibangun dari wawasan kosmologi Islam, khususnya dunia pesantren. Paling tidak ada tiga konsep mendasar tentang “manusia”, yakni:(1) kedudukannya yang tinggi dihadapan makhluk lain; (2) statusnya yang mulia sebagai khalifah di bumi; dan (3) kemampuan inteleknya dalam merumuskan masalah dasar kemanusiaan. Ketiga-tiganya adalah fitrah manusia yang diyakini sebagai anugerah Tuhan sang Pencipta, sehingga manusia berhak atas kedudukan mulia baik di hadapan Tuhan maupun ciptaan lain di alam semesta.  

Paragraf di atas menjelaskan bagaimana pandangan Gus Dur terkait manusia. Pandangan inilah yang menjadikan Gus Dur memiliki rasa, sikap, dan tindakan yang senantiasa berorientasi pada kemanusiaan. Gus Dur memandang manusia sebagai makhluk paling luhur ciptaan Tuhan. Jadi tidak ada yang berhak untuk menindas, menghisap, dan melakukan diskriminasi terhadap manusia. Politik kemanusiaan secara nyata terlihat dari sosok seorang Gus Dur. Ia tidak meninggalkan moralitas. Politik sejatinya melindungi manusia dan mengangkat derajat manusia.   

Kekuasaan di Mata Gus Dur 

Politik pada umumnya dipahami sebagai upaya untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Pemahaman semacam ini pula berlaku dimana saja dan kepada siapa saja. Termasuk Gus Dur. Namun, ada beberapa hal yang perlu diketahui bagaimana cara seorang Gus Dur mencari dan mempertahankan kekuasaan. Metode apa yang digunakan agar dirinya dijadikan sebagai penguasa. Dan dengan apa ia mempertahankan sebuah kekuasaan. Apabila kita banyak membaca literatur tentang Gus Dur, akan kita jumpai keidealan politisi yang layak memimpin negeri ini. Berlakunya demokrasi, menolak nepotisme, dan berpolitik dengan moral.

Gus Dur melihat kekuasaan sebagai upaya untuk memberikan kesejahteraan, keadilan, keamanan kepada masyarakatnya. Jadi, tidak semata-mata menginginkan kekuasaan untuk memenuhi hasrat ataupun mendapatkan keuntungan pribadi dari kekuasaan tersebut. Esensi dari kekuasaan adalah terciptanya masyarakat yang aman, adil, dan kesejahteraan. Melalui pandangan semacam inilah yang mempengaruhi setiap tindakan dari Gus Dur. Dalam pandangan Gus Dur, tidak diperkenankan memperoleh kekuasaan dengan cara yang kotor. Melakukan suap-suap, nepotisme, dan kongkalikong lainnya. Seorang penguasa harus dapat menciptakan tatanan masyarakat yang demikian tadi. Jadi seorang pemimpin otentik yang harus memiliki kemampuan mengatasi segala problem, bukan pemimpin kosmetik yang mencari pencitraan dan mengahlalkan segala cara untuk berkuasa. 

Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Gus Dur tidak menggunakan cara-cara represif. Tatkala berkuasa, ia mengabdikan dirinya untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang digariskan di atas. Dalam perjalanan waktu, biar masyarkatlah yang menilai hasil kinerja dari Gus Dur. Jikalau apa yang dilakukannya dianggap baik oleh rakyat hal itu akan menumbuhkan kepercayaan kepada Gus Dur. Pada intinya, Gus Dur mempertahankan kekuasaan dengan pijakan kepercayaan. Jadi jika rakyat sudah tidak percaya, ia rela meninggalkan jabatannya. Tidak perlu membela kekuasaan dengan mati-matian. Sebagaimana ia tidak menggunakan kekerasan dalam gegap gempita oknum yang melengserkannya dari kursi kepresidenan. Karena bagi dia, tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.   
 @teguhphotato

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com