“Semua
agama menebar cinta kasih” Romo Wiku, Sabtu (3/9/2016).
Bus melaju, tidak kencang dan tidak pelan pula.
Sedang-sedang saja. Melintasi pertokoan, pasar, hotel tidak begitu megah khas
daerah perkotaan baru. Sekitar 20 menit
berselang, kami rombongan
Peserta Workshop Serikat Jurnalis untuk Keberagaman
(Sejuk) tiba di Pura Adya Dharma. Dua lelaki paruh baya
menyambut kedatangan kami dengan bersalaman
seraya menyunggingkan bibir. Sapa akrabpun menyelimuti ruang madya
mandala tempat kami diterima sebagai tamu.
Romo Wiku
Satya Dharma Telaga (Pandhita Pura Adhya Dharma) bertutur ramah menjelaskan mengenai sejarah
pendirian pura beserta harmoni kehidupan pluralitas beragama diwilayah
tersebut. Pura
Adya Dharma tempat peribadatan umat Hindu. Satu-satunya
di Salatiga. Bediri pada tahun 1995 dan diresmikan tahun 2.000 oleh H.
Mardianto, Gubernur Jawa Tengah kala itu. Pura
ini berlokasi di Jln.
Purasari, Desa Bendosari, Kecamatan Argomulyo. Kata Adhiya Dharma
berasal dari kata Adya (sedang) dan Dharma (Kebenaran). Makna kata tersebut
mengisyaratkan bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani yang sedang menuju
pada kebenaran untuk mencapai titik tertinggi, yakni kesejatian dalam hidup.
“Aku adalah
kamu, kamu adalah aku, kita semua bersaudara”.
Itulah ajaran yang ditanamkan oleh agama Hindu dalam menjaga
atmosfer keberagaman di Desa Bendosari.
Umat Hindu dapat menajalankan peribadatan dengan tenang,
meski rumah ibadah berdiri dilingkungan mayoritas
Muslim dan Kriten Protestan. Namun demikian,
toleransi dan kerukunan antar umat beragama mengakar kuat di desa tersebut. Hal ini berdampak
dengan dinobatkannya Kota Salatiga sebagai kota ke-2 paling toleran di Indonesia
versi Stara Institute pada
2015 silam
Sama-Sama
Manusia.
Belakangan ini, konflik berlandaskan isu suku, agama, dan
ras (SARA) kembali naik ke permukaan bumi pertiwi. Seperti halnya yang terjadi
di Tolikara (Papua), Singkil (Aceh), dan Tanjung Balai (Medan). Konflik
tersebut terjadi berlatar belakang agama. Namun, konflik agama semacam ini
tidak terjadi di Kota Salatiga. Khususnya Desa Bendosari.
membuktikan
bahwa mereka mampu merawat keberagaman yang berbasis pluralitas beragama. Wujud
keberagaman tersebut, mereka ekspresikan dalam rasa saling menghormati dan menghargai
antar umat beragama. Seperti halnya saat membangun jalan di depan Pura,
masyarakat saling bergotong royong menyukseskan program tersebut. Selain itu,
warga non hindu juga turut membantu acara wedalan
(hari ulang tahun pura) dengan membuat arak arakan.
“Umat Islam dan Kristen biasanya turut serta
memasang umbul-umbul sebagai bentuk solidaritas dalam merawat toleransi,”
ungkap Nyoman,
Kabag Humas Polres Salatiga yang saat
itu mendampingi Romo Wiku.
Perayaan keagamaan antar umat dijadikan media untuk
memperkukuh persatuan. Anjangsana (perkumpulan
antar pemuka agama) kerap dilakukan guna mengeratkan solidaritas antar pemuka
agama. “Kami ikut acara halal bi halal
pada hari raya idul fitri, jika ada perayaan natal kami berkunjung ke rumah
mereka,” imbuh Romo Wiku sambil duduk bersila.
Adapun sistem kepengurusan Pura Adya
Dharma juga terbilang sangat unik. Antar pemeluk agama saling bahu-membahu
dalam menjaga kebersihan dan keamanan pura. Mulai dari perawatan dan kebersihan
yang dilimpahkan kepada pemeluk agama Islam dan masalah keamanan dipasrahkan
kepada pemeluk agama Kristen. Semua itu mereka kerjakan ikhlas tanpa mengaharap
imbalan. Inilah bukti konkret tingginya toleransi beragama di Desa Bendosari
Kecamatan Argomulyo Salatiga.
“Agama bukanlah aspek yang perlu
perdebatan. Tuhan hanya satu ,keyakinan manusialah yang berbeda. Biarlah
perbedaan tetap tumbuh untuk memperkaya pengetahuan dalam konteks keragaman
agama dan budaya,”
tambah Romo Wiku.
Bagi masyarakat Bendosari,
pluralitas beragama telah menjadi identitas yang melekat dalam kehidupan
mereka. Perbedaan, bukan persoalan yang perlu dipersoalkan, melainkan anugerah
Tuhan yang perlu dirawat keberagamannya. Karena hakikatnya, semua agama menebar
kasih sayang kapada semua mahluk.
Lokakarya:
Roudlotul Choiriyah, Grace Kolin, Laras Olivia, Rio Pratama, Andika Julianto
Trilaksana, Teguh Waloyo.