Blogger templates

Rabu, 14 September 2016

Psikoanalisis Sigmund Freud dalam Melihat Ahok Menggugat UU Pilkada 2016




Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok kembali menjadi pusat sorotan publik. Hal ini disebabkan dirinya menggugat Undang-Undang Pilkada. Berita tentang Ahok tidak bisa dilepaskan dari serangkaian proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Meskipun pilkada Jakarta masih 2017 tahun depan, namun pemberitaan mengenai pilkada ibukota sudah mencuat jauh-jauh hari. Partai politik mulai menyiapkan kandidat untuk dicalonkan sebagai DKI 1. Mencari, Menjaring, melakukan komunikasi politik mulai dibangun untuk menggalang kekuatan. Begitulah magnet ibukota, kian menarik perhatian publik. Adapaun yang paling menarik dari isu terkait pilkada Jakarta adalah upaya Ahok untuk melakukan gugatan uji materi Undang-Undang Pilkada ke MK terkait aturan wajib cuti bagi petahana yang diatur di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Ahok akan menguji pasal 70 ayat (3) dan (4).


Pada Pasal 70 ayat (3) UU tersebut yang mengatur kewajiban cuti dan larangan menggunakan fasilitas negara saat kampanye. Adapun bunyi Pasal 70 ayat (3), Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Waki Bupati, Walikota dan Wakil Walikota,  yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus  memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan b. dilarang  menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Sementara ayat (4) menyebut bahwa Mendagri atas nama Presiden berwenang memberikan izin cuti untuk gubernur, sedangkan untuk bupati/wali kota diberikan gubernur atas nama menteri. 

Ahok menilai, masa cuti kampanye pada Pilkada 2017 terlalu lama. Ia mengaku terlalu lamanya masa kampanye Pilkada 2017 itulah yang membuatnya berinisiatif mengajukan uji materi Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dirinya ingin pasal yang mengatur soal cuti kampanye diubah. Pada dasarnya, ia sepakat jika calon petahana harus cuti selama masa kampanye, namun dia juga ingin ada pilihan bagi calon petahana untuk menolak cuti. Mantan Bupati Belitung Timur itu beralasan, ketidakinginannya terlalu lamanya cuti dikarenakan ingin fokus mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2017. 


Aturan cuti bagi petahana untuk berkampanye pada dasarnya merupakan bentuk keadilan untuk calon diluar petahana. Dengan adanya cuti, maka keadaan menjadi adil bagi semua kontestan pilkada. Petahana yang cuti sudah tidak dapat menggunakan fasilitas negera sebagaimana biasanya. Dengan begitu, ia tidak bisa menggunakan kedudukannya tersebut untuk melakukan kampanye. Ahok sendiri, pernah meminta Fauzi Bowo yang saat itu gubernur Jakarta untuk melakukan cuti kampanye. Permintaan itu ia sampaiakan ketika dirinya maju sebagai calon wakil gubernur Jakarta mendampingi Joko Widodo berkontestasi dalam pemilihan gubernur Jakarta 2012. 


Gubernur Jakarta itu beralasan, ketidakinginannya cuti masa kampanye karena ingin fokus mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2017. Sebelumnya, Ahok menganggap kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.


Pasal tersebut berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Menurut Ahok, Pasal 70 UU Pilkada yang mewajibkan petahana cuti kampanye itu telah menyebabkan adanya perbedaan kedudukan di dalam hukum, yakni terkait dengan masa jabatan petahana dan masa jabatan presiden. Dengan adanya aturan cuti bagi petahana selama kampanye, menurut dia, masa jabatan petahana kemungkinan berkurang. Hal ini berbeda dengan masa jabatan presiden.


Motif Ahok

Ada satu persoalan yang patut diperhatikan untuk pemberitaan Ahok kali ini. Alangkah lebih baiknya melihat fenomena ini menggunakan perspektif psikologi politik. Dengan perspektif tersebut, kita dapat membandingkan antara ucapan dan perbuatan Ahok. Sehingga kita semua dapat menganalisis secara umum dan dapat menarik simpulan dengan tepat serta dapat memprediksi apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Apakah motif Ahok menggugat UU Pilkada? Akankah sebatas show of power ataukah hanya pencitraan? Ataukah ia ingin melakukan sesuatu dengan sisa jabatannya? 


Penulis akan menggunakan psikoanalisis (kajian psikologi) dari Sigmund Freud.  Psikoanalisis merupakan teori kepribadian dan metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud: menekankan motivasi dan konflik yang tidak disadari (Wade, 2007:194). Struktur kepribadian menurut teori Freud, kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan super ego. Id dalam psikoanalisis bagian dari kepribadian yang mendukung energi psikis yang diturunkan terutama insting seksual dan agresivitas. Ego, bagian dari kepribadian yang mewakili logika, akal budi dan kendali diri dari rasional. Superego, bagian dari kperibadian yang mewakili kesadaran moralitas dan standar sosial (Wade, 2007:195). 

Sistem Ego lebih menojol dibanding kedua sistem lainnya. Ia hendak menyelesaikan persoalan menggunakan caranya dia. Logikanya seperti ini, setiap apa yang dilakukan aktor politik tidak akan merugikan atau membahayakan dirinya. Sebagaimana Ahok, ia menggugat UU Pilkada, tentunya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Keuntungan itu bisa apa saja, misal keputusan-keputusan strategis yang ia ambil pada masa terakhir menjabat gubernur. Kemudian, Ahok mencoba menggunakan  mekanisme pertahanan diri. Mekanisme ini bisa menolak atau mengubah kenyataan namun juga sekaligus melindungi kita dari konflik. Salah satu mekanisme pertahanan diri Freud (. Freud, 1967 dalam Wade 2007) adalah proyeksi, yaitu perasaan-perasaan yang tidak dapat diterima atau mengancam di dalam diri seseorang ditekan dan dialihkan kepada orang lain. Dalam konteks Ahok menggugat, ia yang berkedudukan sebagai bakal calon gubernur dari petahana menganggap dirinya terdesak akibat adanya pasal 70 UU Pilkada 2016. Ia menganggap dirugikan dengan adanya kewajiban cuti dari jabatan politik gubernur jika mendaftar sebagai calon kepala daerah. 

Lewin (dalam Cottam 2012) menekankan bahwa interaksi antara orang dengan situasinya adalah hal terpenting dalam memahami perilaku. Emosi dan perilaku yang dipengaruhinya secara rumit berkaitan dengan tujuan yang dipertaruhkan dalam sebuah situasi. Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak Barcon dan Byrne (dalam Rakhmat, 2011). Alasan mengawal APBD mengesankan ketidakpercayaan Ahok terhadap Kepala Dinas DKI Jakarta. Lantas apakah Ahok meremehkan kemampuan jajaran di pemerintah Jakarta. Akankah Ahok tidak percaya kepada rekan kerjanya yang notabene adalah tim.  Melihat kecenderungan ini, penulis condong melihat ke-egoisan Ahok terkait persoalan yang yang ada pada dirinya dan adanya motif tertentu yang diusung Ahok. Melalui gugatannya itu, ia mencoba menyelesaikan persoalan menggunakan caranya sendiri.

Daftar Pustaka

Cottam, Martha, dkk. 2012. Pengantar Psikologi Politik. Jakarta: Rawali Pers.
Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
           Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali     Kota(UU Pilkada).
Wade, Carol & Carol Travis. 2007. Psikologi Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga.
Kompas.com   

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com