Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok kembali menjadi pusat
sorotan publik. Hal ini disebabkan dirinya menggugat Undang-Undang Pilkada. Berita
tentang Ahok tidak bisa dilepaskan dari serangkaian proses Pemilihan Gubernur
DKI Jakarta. Meskipun pilkada Jakarta masih 2017 tahun depan, namun pemberitaan
mengenai pilkada ibukota sudah mencuat jauh-jauh hari. Partai politik mulai
menyiapkan kandidat untuk dicalonkan sebagai DKI 1. Mencari, Menjaring,
melakukan komunikasi politik mulai dibangun untuk menggalang kekuatan.
Begitulah magnet ibukota, kian menarik perhatian publik. Adapaun yang paling
menarik dari isu terkait pilkada Jakarta adalah upaya Ahok untuk melakukan gugatan
uji materi Undang-Undang Pilkada ke MK terkait aturan wajib cuti bagi petahana
yang diatur di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Wali Kota. Ahok akan menguji pasal 70 ayat (3) dan (4).
Pada
Pasal 70 ayat (3) UU tersebut yang mengatur kewajiban cuti dan larangan
menggunakan fasilitas negara saat kampanye. Adapun bunyi Pasal 70 ayat (3), Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Waki
Bupati, Walikota dan Wakil Walikota,
yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye
harus memenuhi ketentuan: a. menjalani
cuti di luar tanggungan negara; dan b. dilarang
menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Sementara ayat
(4) menyebut bahwa Mendagri atas nama Presiden berwenang memberikan izin cuti
untuk gubernur, sedangkan untuk bupati/wali kota diberikan gubernur atas nama
menteri.
Ahok menilai, masa cuti kampanye pada Pilkada 2017 terlalu lama. Ia
mengaku terlalu lamanya masa kampanye Pilkada 2017 itulah yang membuatnya
berinisiatif mengajukan uji materi Pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada). Dirinya ingin
pasal yang mengatur soal cuti kampanye diubah. Pada dasarnya, ia sepakat jika
calon petahana harus cuti selama masa kampanye, namun dia juga ingin ada
pilihan bagi calon petahana untuk menolak cuti. Mantan Bupati Belitung Timur
itu beralasan, ketidakinginannya terlalu lamanya cuti dikarenakan ingin fokus
mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI
2017.
Aturan cuti bagi petahana untuk berkampanye pada dasarnya merupakan
bentuk keadilan untuk calon diluar petahana. Dengan adanya cuti, maka keadaan
menjadi adil bagi semua kontestan pilkada. Petahana yang cuti sudah tidak dapat
menggunakan fasilitas negera sebagaimana biasanya. Dengan begitu, ia tidak bisa
menggunakan kedudukannya tersebut untuk melakukan kampanye. Ahok sendiri,
pernah meminta Fauzi Bowo yang saat itu gubernur Jakarta untuk melakukan cuti
kampanye. Permintaan itu ia sampaiakan ketika dirinya maju sebagai calon wakil
gubernur Jakarta mendampingi Joko Widodo berkontestasi dalam pemilihan gubernur
Jakarta 2012.
Gubernur Jakarta itu beralasan, ketidakinginannya cuti masa kampanye
karena ingin fokus mengawal pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) DKI 2017. Sebelumnya, Ahok menganggap kewajiban cuti
kampanye bagi calon petahana telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi "Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Menurut Ahok, Pasal 70 UU Pilkada yang mewajibkan petahana cuti kampanye
itu telah menyebabkan adanya perbedaan kedudukan di dalam hukum, yakni terkait
dengan masa jabatan petahana dan masa jabatan presiden. Dengan adanya aturan
cuti bagi petahana selama kampanye, menurut dia, masa jabatan petahana
kemungkinan berkurang. Hal ini berbeda dengan masa jabatan presiden.
Motif Ahok
Ada satu persoalan yang patut diperhatikan untuk pemberitaan Ahok kali
ini. Alangkah lebih baiknya melihat fenomena ini menggunakan perspektif
psikologi politik. Dengan perspektif tersebut, kita dapat membandingkan antara
ucapan dan perbuatan Ahok. Sehingga kita semua dapat menganalisis secara umum
dan dapat menarik simpulan dengan tepat serta dapat memprediksi apa yang akan
terjadi dimasa mendatang. Apakah motif Ahok menggugat UU Pilkada? Akankah
sebatas show of power ataukah hanya
pencitraan? Ataukah ia ingin melakukan sesuatu dengan sisa jabatannya?
Penulis
akan menggunakan psikoanalisis (kajian psikologi) dari Sigmund Freud. Psikoanalisis merupakan teori kepribadian dan
metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud: menekankan motivasi
dan konflik yang tidak disadari (Wade, 2007:194). Struktur kepribadian menurut
teori Freud, kepribadian terdiri dari tiga sistem utama: id, ego, dan super
ego. Id dalam psikoanalisis bagian dari kepribadian yang mendukung energi
psikis yang diturunkan terutama insting seksual dan agresivitas. Ego, bagian
dari kepribadian yang mewakili logika, akal budi dan kendali diri dari
rasional. Superego, bagian dari kperibadian yang mewakili kesadaran moralitas
dan standar sosial (Wade, 2007:195).
Sistem
Ego lebih menojol dibanding kedua sistem lainnya. Ia hendak menyelesaikan
persoalan menggunakan caranya dia. Logikanya seperti ini, setiap apa yang
dilakukan aktor politik tidak akan merugikan atau membahayakan dirinya.
Sebagaimana Ahok, ia menggugat UU Pilkada, tentunya untuk memperoleh keuntungan
bagi dirinya. Keuntungan itu bisa apa saja, misal keputusan-keputusan strategis
yang ia ambil pada masa terakhir menjabat gubernur. Kemudian, Ahok mencoba
menggunakan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme
ini bisa menolak atau mengubah kenyataan namun juga sekaligus melindungi kita
dari konflik. Salah satu mekanisme pertahanan diri Freud (. Freud, 1967 dalam
Wade 2007) adalah proyeksi, yaitu perasaan-perasaan yang tidak dapat diterima
atau mengancam di dalam diri seseorang ditekan dan dialihkan kepada orang lain.
Dalam konteks Ahok menggugat, ia yang berkedudukan sebagai bakal calon gubernur
dari petahana menganggap dirinya terdesak akibat adanya pasal 70 UU Pilkada
2016. Ia menganggap dirugikan dengan adanya kewajiban cuti dari jabatan politik
gubernur jika mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Lewin
(dalam Cottam 2012) menekankan bahwa interaksi antara orang dengan situasinya
adalah hal terpenting dalam memahami perilaku. Emosi dan perilaku yang
dipengaruhinya secara rumit berkaitan dengan tujuan yang dipertaruhkan dalam
sebuah situasi. Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud dan
karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak Barcon dan
Byrne (dalam Rakhmat, 2011). Alasan mengawal APBD mengesankan ketidakpercayaan
Ahok terhadap Kepala Dinas DKI Jakarta. Lantas apakah Ahok meremehkan kemampuan
jajaran di pemerintah Jakarta. Akankah Ahok tidak percaya kepada rekan kerjanya
yang notabene adalah tim. Melihat
kecenderungan ini, penulis condong melihat ke-egoisan Ahok terkait persoalan
yang yang ada pada dirinya dan adanya motif tertentu yang diusung Ahok. Melalui
gugatannya itu, ia mencoba menyelesaikan persoalan menggunakan caranya sendiri.
Daftar
Pustaka
Cottam, Martha, dkk. 2012. Pengantar Psikologi
Politik. Jakarta: Rawali Pers.
Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Psikologi Komunikasi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota(UU Pilkada).
Wade, Carol & Carol Travis. 2007. Psikologi
Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga.
Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar