Blogger templates

Jumat, 18 Maret 2016

Politik Bahasa: Logika Neurolingustik Operasional dalam Pewacanaan



Perilaku Hubungan Normal
*New Akademia
Cangkir itu mengepulkan asap. Pertanda kopi di dalamnya masih panas. Lebih tepatnya panas segar, karena jika sudah dingin tiada kesegaran dalam cita rasa kopi. Sungguh nikmat, membaca novel Da Vinci Code serambi mendengarkan lagu one call away yang ditemani secangkir kopi panas. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?. Aku bersyukur dengan semua ini.

Waktu menunjukkan Pukul 19.30. Terdengar suara Jazidi yang mericau mengajak agar aku segera masuk ke kelas diskusi New Akademia. Kelas malam ini akan dibimbing oleh Om Sukamoto. Diskusi malam ini akan membahas mengenai fenomena bahasa yang ada di sekitar kita. Dalam kesempatan ini contoh yang diambil adalah penggunaan bahasa dari fenomena LGBT yang belakangan ini jamak diperbincangkan khalayak. Media dan masyarakat ramai menyoroti LGBT. Sebagian besar menyikapi LGBT dengan melakukan tagar #TolakLGBT. Pada dasarnya kampanye menggunakan bahasa seperti ini malah menjadi ajang promosi LGBT kepada masyarakat yang lebih luas.

Asumsi ini bukan hanya cericau tiada landasan. Tolak pemikiran ini berlandaskan kajian psikologi, kurang akademis apalagi coba. Kenapa kita berasumsi sedemikian rupa?. Jawabannya begini. Perulangan itu ibarat sofware yang di install di pikiran kita. Istilah psikologinya adalah Afirmasi. Jadi ketika semakin sering menyebut kata LGBT, maka maka kata tersebut akan semakin tertancap di pikiran kita.

Nah, ketika kita teriak-teriak LGBT, sebuah kosakata baru, seketika juga kata sifat dan kata kerja (aktivitas LGBT) menjadi bahan pertanyaan bagi orang yang belum tahu dan menjadi visualisasi tersendiri untuk yang sudah tahu jawabannya. Dan semua itu akan melahirkan banyak pertanyaan lanjutan karena penasaran. 

Hal demikian karena pada dasarnya sifat manusia adalah memiliki rasa ingin tahu. Jika bahasa kasarnya sih kepo. Contohnya seperti ini, “JANGAN BAYANGKAN APEL MERAH”. Apa yang anda pikirkan?. Saya yakin malah anda akan membayangkan apel merah yang notabennya tidak boleh dibayangkan. Padahal sudah jelas lhoya, JANGAN. Eh malah pada ngeyel aja. Ya begitulah sifat manusia. Demikian halnya kampanye koar-koar #TolakLGBT – yang terbayang malah perilaku LGBT. Makanya jangan sering bilang LGBT biar tidak membayangkan perilaku zalim tersebut.

Seperti hasil riset Maximillah Riesenhuber, PhD seorang sarjana dari Georgetown University Medical Center mengatakan bahwa neuron di otak kecil mengingat sebuah kata beserta ruang lingkupnya, suatu are yang disebut “kamus visual”. 

Oleh karena itu, marilah kita menghentikan mengkampanyekan #TolakLGBT. Lebih baik menggunakan istilah Perilaku Hubungan Normal (PHN) dalam menolak perilaku LGBT. Tatkala kita menggunkan term PHN maka yang terbayang di benak adalah ya perilaku tentang perilaku hubungan normal. Lantas apa perilaku hubungan normal itu?. Hubungan normal itu adalah hubungan antara lelaki dengan perempuan. Karena kita percaya bahwa nenek moyang kita adalah Adam dan Hawa. Hubungan normalnya sebagaimana nenek moyang kita, hubungan antara Adam dan Hawa, bukan Adam dan Jack atau Hawa dan Sarah. Hehehehe

Mari sekarang dukung kampanye PHN. Tujuan baik tidak selalu baik efeknya, jika dilaksanakan dengan cara yang tidak tepat Bro! Setidaknya ada beberapa ha kenapa anda harus menciptakan kata pengganti LGBT. Misal PHN (Perilaku Hidup Normal). Pada akhirnya, gunakanlah diksi yang tepat agar apa yang akan kita sampaikan dapat tepat sasaran dan sesuai dengan harapan.  

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com