![]() |
Perilaku Hubungan Normal |
Cangkir itu mengepulkan asap. Pertanda kopi di dalamnya masih panas. Lebih tepatnya panas segar, karena jika sudah dingin tiada kesegaran dalam cita rasa kopi. Sungguh nikmat, membaca novel Da Vinci Code serambi mendengarkan lagu one call away yang ditemani secangkir kopi panas. Nikmat mana lagi yang kau dustakan?. Aku bersyukur dengan semua ini.
Waktu menunjukkan Pukul 19.30.
Terdengar suara Jazidi yang mericau mengajak agar aku segera masuk ke kelas diskusi
New Akademia. Kelas malam ini akan dibimbing oleh Om Sukamoto. Diskusi malam ini akan membahas mengenai
fenomena bahasa yang ada di sekitar kita. Dalam kesempatan ini contoh yang
diambil adalah penggunaan bahasa dari fenomena LGBT yang belakangan ini jamak
diperbincangkan khalayak. Media dan masyarakat ramai menyoroti LGBT. Sebagian
besar menyikapi LGBT dengan melakukan tagar #TolakLGBT. Pada dasarnya kampanye
menggunakan bahasa seperti ini malah menjadi ajang promosi LGBT kepada
masyarakat yang lebih luas.
Asumsi ini bukan hanya cericau
tiada landasan. Tolak pemikiran ini berlandaskan kajian psikologi, kurang
akademis apalagi coba. Kenapa kita berasumsi sedemikian rupa?. Jawabannya
begini. Perulangan itu ibarat sofware yang di install di pikiran kita. Istilah
psikologinya adalah Afirmasi. Jadi ketika semakin sering menyebut kata LGBT,
maka maka kata tersebut akan semakin tertancap di pikiran kita.
Nah, ketika kita teriak-teriak
LGBT, sebuah kosakata baru, seketika juga kata sifat dan kata kerja (aktivitas LGBT)
menjadi bahan pertanyaan bagi orang yang belum tahu dan menjadi visualisasi
tersendiri untuk yang sudah tahu jawabannya. Dan semua itu akan melahirkan
banyak pertanyaan lanjutan karena penasaran.
Hal demikian karena pada dasarnya
sifat manusia adalah memiliki rasa ingin tahu. Jika bahasa kasarnya sih kepo.
Contohnya seperti ini, “JANGAN BAYANGKAN APEL MERAH”. Apa yang anda pikirkan?.
Saya yakin malah anda akan membayangkan apel merah yang notabennya tidak boleh
dibayangkan. Padahal sudah jelas lhoya, JANGAN. Eh malah pada ngeyel aja. Ya begitulah sifat manusia. Demikian halnya kampanye koar-koar #TolakLGBT – yang terbayang malah
perilaku LGBT. Makanya jangan sering bilang LGBT biar tidak membayangkan perilaku zalim tersebut.
Seperti hasil riset Maximillah
Riesenhuber, PhD seorang sarjana dari Georgetown University Medical Center
mengatakan bahwa neuron di otak kecil mengingat sebuah kata beserta ruang
lingkupnya, suatu are yang disebut “kamus visual”.
Oleh karena itu, marilah kita
menghentikan mengkampanyekan #TolakLGBT. Lebih baik menggunakan istilah
Perilaku Hubungan Normal (PHN) dalam menolak perilaku LGBT. Tatkala kita
menggunkan term PHN maka yang terbayang di benak adalah ya perilaku tentang
perilaku hubungan normal. Lantas apa perilaku hubungan normal itu?. Hubungan
normal itu adalah hubungan antara lelaki dengan perempuan. Karena kita percaya
bahwa nenek moyang kita adalah Adam dan Hawa. Hubungan normalnya sebagaimana
nenek moyang kita, hubungan antara Adam dan Hawa, bukan Adam dan Jack atau Hawa
dan Sarah. Hehehehe
Mari sekarang dukung kampanye
PHN. Tujuan baik tidak selalu baik efeknya, jika dilaksanakan dengan cara yang
tidak tepat Bro! Setidaknya ada beberapa ha kenapa anda harus menciptakan kata
pengganti LGBT. Misal PHN (Perilaku Hidup Normal). Pada akhirnya, gunakanlah diksi yang tepat agar apa yang akan kita sampaikan dapat tepat sasaran dan sesuai dengan harapan.
0 komentar:
Posting Komentar