Publik pecinta seni tentunya
tidak asing lagi dengan kata Art Jog. Sebuah kata yang menjadi simbol terhadap bursa
seni rupa terbesar se-Indonesia raya. Art Jog merupakan art fair atau bursa seni
rupa kontemporer yang telah digelar sejak 2008 di Yogyakarta. Popularitas Art
Jog yang dikatakan terbesar ini bukan omong kosong belaka, lebih kurang 1000
lembar tiket terjual setiap harinya. Pada 2008-2016, 1.350 seniman Indonesia
terlibat dalam Art Jog. Sedangkan jumlah pengunjung per tahun rata-rata 100
ribu orang. Tahun ini, Art Jog berlangsung di Jogja National Museum pada 27
Mei-27 Juni 2016. Adapun seniman yang andil dalam bursa seni rupa ini diikuti
setidaknya 72 seniman baik domestik maupun manca negara dan terdapat 83 acara
seni yang mengiringi Art Jog 2016. Dengan demikian, pameran ini memang
besar secara kuantitas maupun kualitas.
Ternyata, dibalik kemegahan
Art Jog 2016 terdapat persoalan (baca: masalah) yang turut memeriahkan acara
ini. Seniman dan beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Boikot
Art Jog memprotes keras kegiatan Art Jog tahun ini. Adapun elemen yang
mengkritik dan mengecam keterlibatan PT. Freeport Indonesia dalam kegiatan seni
diantaranya adalah komunitas seniman street
art Anti-Tank, Andrew Lumban Gaol, Lembaga Seni Budaya Muslimin
Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber
Daya Alam (FNKSDA), Forum Solidaritas Yogyakarta Damai, Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP), Gerakan Rakyat Papua Bersatu, mahasiswa, kelompok diskusi, dan lain
sebagainya.
Kalangan yang kontra
terhadap penyelenggaraan Art Jog 2016 menyampaikan tuntutan itu lewat unjuk
rasa di depan Jogja National Museum, Yogyakarta, tempat berlangsungnya Art Jog
2016, Kamis 16 Juni 2016. Mereka berjalan dari Titik Nol Kilometer Yogyakarta
menuju lokasi pameran dengan membawa spanduk bertuliskan aliansi boikot Art
Jog.
Aliansi itu mendesak
penyelenggara Art Jog diminta bertanggung jawab atas pelibatan Freeport dan
perusahaan yang merusak lingkungan sebagai sponsor kegiatan. Mereka juga
menuntut Art Jog memutus kontrak dengan Freeport dan menolak perusahaan itu
ikut campur dalam aktivitas kesenian di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka
mengimbau penyelenggara kegiatan seni dan seniman untuk tidak bekerja sama
dengan Freeport dan perusahaan hitam lainnya.
Dosa
Freeport di Tanah Papua
Periset Front Nahdliyin
untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam, Bosman Batubara menduga seniman yang terlibat
dalam acara itu sejak awal tidak mengetahui keterlibatan Freeport sebagai
sponsor Art Jog. “Ada paradoks ketika seniman menampilkan karya mereka yang
kritis terhadap persoalan lingkungan dan penderitaan rakyat,” kata Bosman.
Bosman berpandangan penyelenggara yang menerima PT Freeport sebagai sponsor
tidak sensitif karena perusahaan itu dinilai melakukan pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Papua. Di antaranya penghancuran tatanan adat rakyat Papua,
perampasan lahan masyarakat lokal, penangkapan sewenang-wenang masyarakat
sipil, perusakan lingkungan hidup, dan perusakan ekonomi rakyat. Perusahaan
asal Amerika Serikat itu juga dituding mengingkari eksistensi Suku Amungme,
melanggar hak-hak ketenagakerjaan, dan terlibat dalam setoran ilegal uang
keamanan aparat negara.
Alumnus Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada dan Interuniversity
Programme in Water Resources Engineering, KU Leuven dan VU Brussel, Belgia itu
merujuk pada temuan Jaringan Advokasi Tambang Mining Advocacy Network dan
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan.
Limbah tailing atau sisa pengolahan batuan-batuan yang mengandung
mineral
Freeport telah mencapai lebih dari 1,187 milliar ton yang dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa Papua. Longsor besar di kawasan Freeport juga telah merenggut 28 nyawa pekerja sekaligus pada 14 Mei 2013. Hingga akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menetapkan PT. Freepot Indonesia sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia berat dalam kasus itu.
Freeport telah mencapai lebih dari 1,187 milliar ton yang dibuang ke sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa Papua. Longsor besar di kawasan Freeport juga telah merenggut 28 nyawa pekerja sekaligus pada 14 Mei 2013. Hingga akhirnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia telah menetapkan PT. Freepot Indonesia sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia berat dalam kasus itu.
Warga Kabupaten Merauke, Papua, Lurina Ubay mengatakan masuknya
Freeport membuat rakyat Papua sengsara karena mereka merasa terasing di tanah
mereka sendiri. Penambangan oleh Freeport itu merusak lingkungan karena hutan
dan sumber daya alam milik rakyat Papua habis dikuras. “Bagaimana kami bisa
mencari makanan ketika sumber-sumbernya habis,” kata Lurina.
Atas dasar data tersebut, Aliansi Boikot Art Jog menolak
keterlibatan PT. Freeport dalam kegiatan Art Jog tahun ini. Perusahaan tambang
asal Amerika Serikat tersebut telah melakukan eksploitasi kekayaan alam,
pelanggar HAM, merusak tatanan budaya lokal. Lantas, bagaimana bisa seniman dan
pecinta kesenian yang katanya seni adalah tentang kehidupan dan kehalusan
perasaan berselingkuh dengan korporat penindas perikehidupan manusia?
Mantapp
BalasHapus